Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BANGKINANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2023/PN Bkn MUHLIS ALS MUHLIS BIN H SAID KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA RESOR KAMPAR SEKTOR TAMBANG Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 05 Mei 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penahanan
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2023/PN Bkn
Tanggal Surat Jumat, 05 Mei 2023
Nomor Surat 036/SK/LO-NY/V/2023/PBR
Pemohon
NoNama
1MUHLIS ALS MUHLIS BIN H SAID
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA RESOR KAMPAR SEKTOR TAMBANG
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana “Pencurian atau orang  yang menyuruh melakukan, yang menyuruh melakukan perbuatan itu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 KUH Pidana Jo Pasal Pasal 362 KUH Pidana Jo Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Kampar Sektor Tambang.

 

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. Bahwa menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan menurut Pasal 28D UUD 1945, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan kedua pasal UUD ini bermakna bahwa adalah merupakan hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat;
  2. Bahwa menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011, halaman 30 menyatakan, “...filosofi diadakannya pranata Praperadilan yang justru menjamin hak-hak Tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia”. Dengan demikian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada hakekatnya Praperadilan itu adalah untuk menjamin hak Tersangka, dari kesewenang-wenangan yang mungkin dan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum, sejak dilakukan penyelidikan sampai ditetapkan sebagai Tersangka;
  3. Bahwa pengajuan Permohonan Praperadilan oleh PEMOHON berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP. Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum seperti Penyelidik, dan/atau Penyidik termasuk dalam penetapan Tersangka. Pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyelidikaan, penyidikan sangat penting karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka, maka aparat penegak hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia. Sebagai upaya hukum untuk mencegah agar aparat kewenangannya maka diperlukan lembaga yang dapat melakukan pengawasan horizontal terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena itu pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum termasuk dalam penetapan Tersangka dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Untuk mengukur wewenang tersebut digunakan menurut ketentuan undang-undang dapat dilihat dari tujuan Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dan tujuan Penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
  4. Bahwa pengujian keabsahan proses penyelidikan, penyidikan dan penetapan Tersangka melalui lembaga Praperadilan, patut dilakukan karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka maka sejak itu itu pula segala upaya paksa dapat dilakukan terhadap seorang Tersangka dan harta kekayaan tersangka, dengan alasan untuk kepentingan peneegakan hukum. Oleh karena penetapan Tersangka merupakan bagian akhir dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses Penyidikan sebagaimana dimaksud oleh pasal 1 angka 2 KUHAP, maka penetapan tersangka tersebut perlu diuji kebenara atau keabsahannya. Secara hukum lembaga berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah pengadilan melalui Praperadilan. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan penetapan status Tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar-dasar dari tindakan Penyelidik, Penyidik yang akan diikuti upaya paksa. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah dan tidak sahnya penetapan Tersangka, pada hakekatnya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seorang warga Negara;
  5. Bahwa dalam praktik hukum Lembaga Praperadilan harus diartikan sebagai upaya pengawasan terhadap penggunaan wewenang oleh penyidik untuk menjamin agar hak asasi manusia tidak dilanggar oleh aparat penegak hukum atas nama penegakan hukum, sebagaimana secara tegas dituangkan dalam konsideran Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP yang menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi: a) “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala wargaNegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” (c) “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.” Penegasan terhadap hal ini juga dilakukan dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke-6 yang berbunyi :

“...Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”

  1. Bahwa dalam praktik hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014,tanggal 28 April 2015 secara tegas menyatakan bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan. Dengan demikian maka Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui praperadilan adalah sah menurut hukum, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi: “Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum”; (Putusan MK hal 105-106) ;

Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, maka pada hakekatnya hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia telah secara tegas mengatur adanya lembaga koreksi atas penetapan seseorang sebagai Tersangka. Dengan kata lain, menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, adalah merupakan hak asasi seorang untuk menguji sah atau tidak sahnya ketika ditetapkan sebagai Tersangka. Apalagi jika terjadi kesalahan dilakukan oleh penyidik in casu TERMOHON dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka, dalam hal ini adalah PEMOHON, maka adalah merupakan hak seorang warga negara untuk melakukan koreksi

Pihak Dipublikasikan Ya